Beranda | Artikel
Apa Hukum Perkataan Fulan Syahid?
Senin, 10 Oktober 2005

APA HUKUM PERKATAAN FULAN SYAHID ?

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : “Apa hukum perkataan, ‘Fulan Syahid ?’.

Jawaban.
Jawaban atas hal itu adalah bahwa seseorang dikatakan syahid itu dengan dua sisi yaitu :

Pertama.
Hendaknya terikat dengan suatu sifat, seperti : Dikatakan bahwa setiap orang yang dibunuh fisabillah adalah syahid, orang yang dibunuh karena membela hartanya adalah syahid, orang yang mati karena penyakit thaun adalah syahid dan yang semacamnya. Ini adalah boleh sebagai mana yang terdapat dalam nash, dan karena kamu menyaksikan dengan apa yang dikhabarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang kami maksud boleh adalah tidak dilarang. Jika menyaksikan hal itu, maka wajiblah membenarkan khabar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kedua.
Menentukan syahid bagi seseorang, seperti kamu mengatakan kepada seseorang, dengan menta’yin bahwa dia syahid. Ini tidak boleh kecuali yang disaksikan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau umat sepakat atas kesyahidannya. Al-Bukhari dalam menerangkan hal ini ia berkata : Bab. Tidak Boleh Mengatakan Si Fulan Syahid. Ia berkata dalam Al-Fath Juz 6 halaman. 90, yaitu : Tidak Memvonis Syahid Kecuali Ada Wahyu. Seakan dia mengisyaratkan hadits Umar, bahwa beliau berkhutbah. “Dalam peperangan, kalian mengatakan bahwa si Fulan Syahid, dan si Fulan telah mati syahid. Mudah-mudahan perjalanannya tenang. Ketahuilah, janganlah kalian berkata demikian, akan tetapi katakanlah sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : Barangsiapa mati di jalan Allah atau terbunuh maka ia syahid”. Ini adalah hadits hasan yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Sa’id bin Manshur dan lainnya dari jalur Muhammad bin Sirrin dan Abi Al-A’jafa’ dari Umar.

Karena persaksian terhadap suatu hal yang tidak bisa kecuali dengan ilmu, sedang syarat orang menjadi mati syahid adalah karena ia berperang untuk meninggikan kalimat Allah yang tinggi. Ini adalah niat batin yang tidak ada jalan untuk mengetahuinya. Oleh karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda sebagai isyarat akan hal itu.

مَثَلُ الْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَنْ يُجَاهِدُ فِي سَبِيلِهِ

Perumpamaan seorang mujahid di jalan Allah, dan Allah lebih tahu siapa yang berjihad di jalan-Nya….” [Hadits Riwayat Bukhari : 2787]

Dan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

وَالَّذِي نَفْسِيْ بِيَدِهِ لاَ يَكْلُمُ أَحَدٌ فِي سَبِيْل اللهِ وَاللهُ أَعْلَمُ بِمَنْ يَكْلُمُ فِي سَبِيْلِهِ إِلاَّ جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالْلَوْنُ لَوْنُ الدَّمِ وَالِّريْحُ رِيْحُ الْمِسْكِ

Demi yang jiwaku berada ditangan-Nya, tidaklah seseorang terluka di jalan Allah, dan Allah mengetahui siapa orang yang terluka di jalan-Nya, kecuali ia akan datang pada hari kiamat sedang lukanya mengalirkan darah warnanya warna darah dan wanginya wangi misk” [Hadits Riwayat Bukhari : 2803]

Akan tetapi orang yang secara dhahirnya baik, maka kami berharap dia syahid. Kami tidak bersaksi atas syahidnya dia dan juga tidak berburuk sangka kepadanya. Raja’ (berharap) itu satu posisi di antara dua posisi (bersaksi dan buruk sangka), akan tetapi kita memperlakukannya di dunia dengan hukum-hukum syahid, jika ia terbunuh dalam jihad fi sabilillah. Ia dikubur dengan darah di bajunya tanpa menshalatinya. Dan untuk syuhada’ yang lain, dimandikan, dikafani dan dishalati.

Karena, kalau kita bersaksi atas orang tertentu bahwa ia mati syahid konsekwensinya adalah kita bersaksi bahwa ia masuk surga. Mereka tidak bersaksi atas seseorang dengan surga kecuali dengan sifat atau seseorang yang disaksikan oleh Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan sebagian yang lain berpendapat bahwa boleh kita bersaksi atas syahidnya seseorang yang umat sepakat memujinya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah termasuk yang berpendapat seperti ini.

Dengan ini, maka menjadi jelas bahwa kita tidak boleh bersaksi atas orang tertentu bahwa ia mati syahid kecuali dengan nash atau kesepakatan. Akan tetapi bila dhahirnya baik maka kita berharap demikian sebagaimana keterangan diatas, dan cukuplah nasihat tentang ini, sedangkan ilmunya ada di sisi Sang Pencipta.

[Disalin dari buku Majmu’ Fatawa Arkanil Islam, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah, Bab Aqidah, hal. 208-210, Penerjemah Furqan Syuhada, Qosdi Ridwanullah, Irwan Raihan, Penerbit Pustaka Arafah, Cetakan Rabi’ul Awwal 1423/Agustus 2002]


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/1597-apa-hukum-perkataan-fulan-syahid-2.html